Tuesday, April 05, 2011

Aku Bukan Pengecut

Aku bukan pengecut. Hari ini, 46 hari sudah aku di negeri ini. Jepang. Buat sebagian orang penugasan di Jepang bisa berarti banyak hal, selain mendapat pengalaman hebat, juga jalan-jalan gratis. Nah aku, aku mendapatkan keduanya, meski dengan cara yang mahal. Aku tiba di Jepang tanggal 20 Febuari 2011, lalu 18 hari kemudian, 11 Maret 2011 terjadilah gempa besar itu. Gempa yang berkekuatan 9 SR lalu disusul oleh Tsunami benar-benar meluluhlantakan sebagian Jepang. Tak cukup sampai disitu, gempa dan tsunami besar juga merusak PLTN kepunyaan Jepang, mengakibatkan terjadinya radiasi Nuklir di daerah Fukushima dan sekitarnya, tempat PLTN itu berada, hingga saat ini, radiasi itu pun belum terselesaikan, entah sampai kapan. Aku yang saat semua itu terjadi baru 18 hari disini, masih di liputi oleh perasaan homesick, lalu dihadapkan pada gempa, cerita tsunami dan ancaman radiasi dan kemudian selang sehari di susul kabar duka karena bossku langsung, orang yang mengajari aku banyak hal meninggal dunia. Siapapun orangnya yang dihadapkan pada 3 peristiwa sedih sekaligus pasti akan mengalami hal yang sama seperti yang aku alami, sedih, kecewa, luka dan pedih. Aku pun berusaha menguatkan hati dan perasaanku. Tapi rupanya, ujian yg aku terima belum cukup sampai disitu, alih-alih mendapat dukungan moril, cerita yang aku sampaikan kepada kantor ku diJakarta, rupanya menjadi boomerang buat ku, aku dianggap mentally weak, childish dan over react. Padahal harapanku dengan melaporkan kejadian dan peristiwa di sini, para petinggi di Jakarta mengambil langkah buat melakukan sesuatu kepada teman-teman disini, entah evakuasi, entah apa namanya tapi yang pasti langkah penyelamatan. Lagi-lagi bukan penyelamatan yang aku dapatkan, tapi fakta diputarbalikkan. Menurut petinggi di Jakarta, aku seharusnya memohon kepada mereka karena mereka menanti sebuah permohonan dari aku untuk diselamatkan, untuk dipulangkan, tapi sebaliknya menurut aku disini, merekalah yang seharusnya bertanggung jawab, bukan aku yang memohon, tapi mereka yang bertindak karena aku disini bekerja untuk mereka, bukan untuk bersenang-senang. Titik temu pun semakin menjauh. Teleconference pun diadakan untuk mengurai benang yang kusut, namun lagi-lagi bukan ketenangan yang kami terima, tetapi, pernyataan tidak simpatik yang dilontarkan oleh seorang petinggi di Jakarta. Ah, sudahlah semakin tumpul rasa ini, sudah hilang semua asa. Aku yang sendiri di negeri Jepang, tak tahu kemana lagi aku harus percaya. Apakah teman-temanku disini, para petinggi di Jakarta, ataukah perasaanku semata. Yang pasti aku ingat kalimat seorang sahabatku di Jakarta, “rara, ini saatnya dimana lo hanya menggantungkan semuanya hanya kepada Tuhan” , begitu katanya. Ditambah lagi suntikan motivasi dari sahabatku yang lain di Jakarta, omongan panjang lebar yang membuat ku mengakhiri dilemma yang berkecamuk di dalam pikiran ini dan membuat ku untuk mengambil sikap untuk “menolong” diriku sendiri, karena aku bukan pengecut. Aku bukan pengecut! Dan sejak saat itu niat ini membulat dan membesar seperti bola salju. Akan aku selesaikan apa yang harus ku selesaikan disini, akan aku selesaikan tanggung jawabku disini, akan aku buktikan tidak perlu seorang pintar untuk bisa berkomitmen terhadap sesamanya dan terhadap tugasnya, bahwa aku yang bodoh pun bisa bertanggung jawab kepada tugasku dan sesamaku. Aku yakin Allah Maha Tahu, aku yakin Allah Maha Melihat, aku yakin Allah Maha Mendengar dan aku yakin Allah Maha Penolong terhadap hamba-hambaNya yang berserah diri sepenuhnya kepadaNya. Maka sudah kuserahkan semua kepadaNya, hanya kepadaNya. Bukan lagi kepada keputusan para petinggi di Jakarta, bukan lagi kepada teman-teman yang mungkin kadang merasa terganggu dengan kritikanku, tapi aku berserah penuh hanya kepada Allah SWT. Kelak, suatu saat nanti, akan ku ajarkan kepada anakku, bahwa tidak perlu menjadi orang yang sangat pintar untuk bisa berkomitmen kepada tugas dan ber tanggung jawab kepada sesama. Tidak perlu menjadi orang yang sangat kuat untuk bisa menolong sesama ,Tidak perlu menjadi orang yang sangat hebat untuk bisa merasa. Tetapi jadilah manusia yang selalu pintar merasa, karena dengan pintar merasa, kita akan pintar juga merasa untuk berkomitmen, bertanggung jawab, dan menolong sesama. Sekarang akan kujalani hari hari ku disini, menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, bertanggung jawab dan berkomitmen kepada tugasku dan sesamaku lalu kemudian selesai ini, akan ku bangun lagi hari baru bersama anakku, karena aku – dan aku yakin anakku- bukan pengecut.